Hak Wajib Pajak - Pasal 8 ayat 4 UU KUP

 Pasal 8 Ayat (4) UU KUP - Hak Wajib Pajak yang Sedikit Dilaksanakan


Salah satu hak Wajib Pajak diatur dalam Pasal 8 ayat (4) juncto ayat (5) dan ayat (5a) UU KUP yang berbunyi:


UU KUP (baru)

"(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah  melakukan pemeriksaan,  dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian  Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:

a. pajak-pajak yang masih  harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;

b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;

c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau

d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil

dan pemeriksaan tetap dilanjutkan."


(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak: 

a. batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian  Surat Pemberitahuan Tahunan; atau 

b. jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan  ketidakbenaran pengisian  Surat Pemberitahuan Masa dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh  empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung  penuh 1 (satu) bulan. 


(5a) Tarif bunga per bulan  yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud  pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.


Penjelasan

"Ayat (4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum  menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian  Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan  Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran

pengisian Surat Pemberitahuantersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai."


Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (5a) Cukup jelas.

-------------------

Dalam UU KUP (lama), hak Wajib Pajak tersebut di atas berbunyi:


UU KUP (lama)

Pasal 8

(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:

a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;

b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;

c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau

d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil

dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. 


(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta  sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar,  harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. 


Penjelasan Pasal 8

Ayat (4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat  Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan  Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga  dapat diketahui  jumlah pajak yang sesungguhnya  terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.


Ayat (5) 

Atas  kekurangan pajak sebagai akibat adanya  pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.

---------------

Perubahan ketentuan hak Wajib Pajak ini terutama mengenai perubahan sanksi administratif dari sebesar 50% (lima puluh persen) menjadi sebesar suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas).


Pada masa lalu, Wajib Pajak jarang melaksanakan haknya itu. Sering terdengar komentar: "Lebih baik tunggu saja terbitnya SKPKB yang kena sanksi administratif paling tinggi 48% daripada mengungkapkan dengan sanksi administratif sebesar 50%." Mungkin saja dalam hati mereka juga berkata: 'Toh orang pajak belum tentu mengetahui karena mereka tidak punya datanya.'

Dengan bersikap demikian, Wajib Pajak lebih sedikit jumlahnya yang mengungkapkan berdasarkan Pasal 8 ayat (4) dibanding dengan jumlah pengungkapan Pasal 8 ayat (3) UU KUP.

Padahal ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) itu bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Menurut pemahaman Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan berdasarkan IDLP (Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan) bukan karena Pemeriksaan yang ditingkatkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan. Oleh karena itu, agar hak Wajib Pajak ini sering dilaksanakan oleh Wajib Pajak, maka selain karena turunnya sanksi administratif, ketika proses Pemeriksaan, terutama Pemeriksaan Khusus ditemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, DJP hendaknya bisa menyiratkan kepada Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan yang sedang berlangsung ini dapat ditingkatkan menjadi (ditindaklanjuti dengan) Pemeriksaan Bukti Permulaan.


Pemerintah berkehendak agar hak Wajib Pajak tersebut lebih kerap dilaksanakan pada masa mendatang. Sehubungan dengan UU Cipta Kerja dan terkait dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP, Pemerintah telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang Pasal 8 ayat (2) dan ayat (6) diubah sehingga menjadi berbunyi:

(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:

a. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format  Surat Pemberitahuan;

b. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan

c. Surat Setoran Pajak atas sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 


(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administrasi terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.

------------

Masih terkait dengan hal itu, Penjelasan Pasal 12 ayat (1) RPP diubah, sedangkan ayat (1) tetap berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 RPP

(1) Apabila pada saat Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.


Penjelasan Pasal 12

Ayat (1)

Tindak pidana di bidang  perpajakan merupakan perbuatan yang diancam sanksi pidana berdasarkan undang-undang yang terkait dengan perpajakan, antara lain Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

--------------------

Saya menafsirkan bahwa "Pemeriksaan" pada Pasal 12 ayat (1) tersebut di atas mencakup juga/ "Pemeriksaan" (yang dilanjutkan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP. Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak masih mempunyai kewenangan untuk menindaklanjuti Pemeriksaan (yang dilanjutkan sampai selesai) dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Bukan hanya dapat menerbitkan SKPKB.


Demikian, semoga bermanfaat. 

Mohon maaf bila tak berkenan. Tetap semangat untuk Indonesia maju. Damailah negeriku, jayalah bangsaku, dan sejahteralah rakyatnya. Selamat berakhir pekan.


Riza Noor Karim

Jakarta, 23 Januari 2021.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Uang Kripto Makin Terkenal - Konsultan Pajak Batam

Ujian Sertifikasi Certified Tax Technician (CTT) - Konsultan Pajak Batam